Label

Rabu, 19 Maret 2014

Laporan Mining Bayu

Laporan kunjungan di Mining quarry D pertambangan limestone di PT Indocement .Tbk pada hari kamis 13 februari 2014. Pertama berkumpul di pos 1, dengan menggunakan bus kunjungan dimulai dengan tempat tujuan pertama adalah ke gudang ANFO. Disana kegiatan yang saya lihat sedang dilakukan pencampuran Amonium Nitrat dengan Fuel Oil dengan perbandingan 95,5 : 4,5.

Bayu Bastiansyah
Mining Raw Material Preparation
Laporan Kunjungan Mining “Quarry D”
Kamis, 13 Maret 2014

Kegiatan pertambangan PT. ITP ini terletak di daerah Citeureup-Bogor dengan sebutan Quarry D. PT ITP ini memiliki cadangan batu kapur yang sangat banyak, yang diperkirakan masih cukup untuk memenuhi kebutuhan semen dalam 75 tahun mendatang. ITP pula masih mempunyai beberapa lokasi tambang, seperti Quarry A yang sudah habis dan direklamasi menjadi tempat perindustrian, Quarry D yang sampai saat menjadi tambang yang aktif ditambang, Quarry C memiliki kandungan mineral yang baik untuk semen putih dan akan segera dibuka dalam waktu dekat serta Quarry E.
Menurut UU No.11 Tahun 1967, pertambangan batu kapur yang dilakukan oleh PT. Indocement Tunggal Prakarsa merupakan bahan tambang yang tergolong dalam golongan C (bahan tidak strategis dan tidak vital), yaitu bahan yang tidak dianggap langsung mempengaruhi hayat hidup orang banyak.
Kegiatan pertambangan limestone di quarry D mempunyai beberapa tahap proses mulai dari Land clearing à  Stripping à  Drilling à  Blasting à  Loading dan Hauling  à  Crushing à  Conveying à  Storage.
1.      Tahap Pembabatan (Land Clearing)
Pembabatan  dan  pengupasan  yang  dilakukan  untuk  membuka  daerah  penambangan baru.  Langkah  ini  perlu  dilakukan  untuk  membersihkan  pepohonan  dari  daerah  bahan galian dengan menggunakan buldoser.
2.      Tahap Pengupasan Tanah (Stripping)
Proses pengupasan top soil (lapisan penutup tanah), langkah ini dilakukan pada daerah bahan galian yang ditutupi lapisan tanah penutup.  Lapisan penutup ini tidak dibuang akan tetapi   lapisan tanah  ini  nantinya akan dikembalikan/disebar kembali untuk kesuburan tanah(revegetasi).
3.      Tahap Pengeboran (Drilling)
Sebelum  batu  kapur  diambil  harus  dilakukan  pengeboran  untuk  menanamkan  bahan peledak.  Jarak  dan  kedalaman  antar  lubang  untuk  menanamkan  bahan  peledak  harus disesuaikan. Umumnya   diameter  lubang  3,5  inchi dengan  kedalaman  6  hingga  9  meter. Jarak antar lubang biasanya 3-4 meter.
Pada proses drilling ini dikenal beberapa istilah, yaitu ;
·         Bench              : merupakan lahan kapur yang akan di blasting.
·         Spacing            : merupakan jarak antara satu lubang drilling (yang diisi peledak) dengan lubang drilling lainnya.
·         Burden             : merupakan jarak lubang drilling dengan bidang bebas.
·         Steaming          : merupakan lubang ledak bagian atas yang tidak diisi bahan peledak tetapi biasanya diisi abu hasil pemboran dan dipadatkan di atas bahan peledak.
·         Subdrilling       : merupakan kedalaman lubang drilling yang sengaja dilebihkan dengan ukuran 1 meter dari setiap tinggi bench (lantai bench), agar bagian bawah lahan kapur pecah saat blasting dan memudahkan loader saat memuat material.
(contoh : jika kedalaman bench 15 meter, maka dilebihkan 1 meter menjadi 16 meter)
      

                                   




4.      Tahap Peledakan (Blasting)
Aktivitas pertambangan ini dilakukan dengan cara diledakan karena mengingat kekerasan yang dimiliki oleh batu kapur yang cukup tinggi. Blasting merupakan proses pemisahan batuan dari batu induknya dengan menggunakan bahan peledak.
Pada proses blasting ini ada yang disebut juru ledak, yaitu orang yang bertanggung jawab pada seluruh proses blasting. Mengingat proses peledakan itu merupakan proses yang sangat berbahaya maka juru ledak memiliki lisensi yang didapat dari Kepolisian dan Dinas Pertambangan yang dipercaya untuk mengawasi dan memimpin jalannya proses blasting. Lisensi tersebut disebut dengan KIM (Kartu Izin Meledakkan).

       Adapun bahan peledak yang digunakan:
  •  Damotin (Dinamit Ammonium Gelatine) merupakan bahan peledak primer.
  •  ANFO (Ammonium Nitrat dan Fuel Oil) adalah bahan peledak sekunder dengan perbandingan 94,5 % amonium nitrat dan 5,5 % fuel oil.

Komponen yang digunakan untuk blasting adalah kabel, detonator, blasting machine (alat  peledak)  dan  blasting ohmmeter (alat pengukur daya ledak).
Warna dari ammonium nitrat adalah putih dan warna dari fuel oil (solar) adalah bening. Bila perbandingan ANFO terpenuhi dan proses mixing sempurna, akan dihasilkan ledakan berwarna putih. Sedangkan bila gas berwarna kuning atau hitam, menandakan campuran ANFO tidak sesuai dan gas buang ini mengandung zat yang berbahaya serta keefektifan ledakan pun berkurang dan dapat menyebabkan turunnya tonase hasil ledakan serta kerugian. Adapun cara mixing Ammonium Nitrat dengan solar adalah dengan menggunakan ANFO mixer yang memiliki kapasitas 6 ton/jam.
Kapasitas masing-masing gudang bahan peledak yaitu ;
·         Gudang dinamit                    : kapasitas kurang lebih 30 ton
·         Gudang ammonium nitrat     : kapasitas sekitar 240 ton
·         Gudang detonator                : kapasitas sekitar 16000 pc
·         Gudang kabel
Dalam aktivitasnya, PT. ITP dapat menghabiskan 100000 meter kabel, 180 ton ANFO, 5000 pc detonator, dan 2000-2100 kg dinamit (0,2 kg/pc) setiap bulannya.
Dalam satu lubang dengan diameter 4”, dibutuhkan sekitar 6 kg ANFO setiap satu meter drilling, dan untuk diameter 5,5” dibutuhkan sekitar 14 kg ANFO. Sedangkan dari seluruh kebutuhan bahan peledak, penggunaan dinamit hanya sekitar 1-2% karena dinamit memiliki daya ledak (tekanan) yang tinggi yaitu sekitar 200MPa  dan harganya relative mahal. Kegiatan blasting ini dimulai dengan memancing peledakan dinamit oleh detonator yang mempunyai arus yang kemudian meledakkan ANFO. Dalam mengoptimalkan keefektifan bahan peledak ini, dibutuhkan suatu parameter yaitu blasting rasio (BR) yang merupakan perbandingan bahan peledak yang dibutuhkan (kg) untuk meledakkan 1 ton batuan. Biasanya blasting rasio ini berkisar antara 0,165 – 0,2 kg/ton, namun semua ini tergantung dari kekerasan material yang akan diledakkan. Semakin keras material yang akan diledakkan maka harus semakin tinggi blasting rasio yang diterapkan agar hasil tonase peledakan bisa sesuai target. Makin tinggi blasting rasio juga akan memberikan keuntungan seperti framentasi kecil sehingga meringankan beban pada proses loding dan hauling serta crusher. Namun BR yang tinggi pula akan menyebabkan flying rock akan terlempar sangat jauh karena menerima tekanan yang begitu besar.
5.      Tahap Pemuatan (Loading) dan Pengangkutan (Hauling)
Untuk tahap loading dan hauling ini material hasil blasting dibawa ke crusher dengan menggunakan loader dan dump truck. Pada umumnya dump truck  ini memuat 30 ton. Namun karena kapasitas pabrik meningkat, kapasitas dump truck di modifikasi sampai kapasitanya 60 ton.
6.      Tahap Crushing
Crushing merupakan proses pereduksian ukuran batuan hasil blasting agar lebih mudah di tranport ke storage. Model yang banyak digunakan di PT. ITP yaitu jaw crusher, hammer crusher dan impact crusher.
·         Tipe crusher menurut fungsinya dibagi menjadi 2, yaitu:
-                 Stationary (permanen)
-                 Mobile (dapat dipindah-pindah)
·         Serta ada 2 jenis crusher:
-                 Automatic (kelebihan crusher automatic ialah bila terdapat blocking pada crusher dengan sendirinya kecepatan motor crusher akan berkurang).
-                 Manual

7.      Tahap Conveying
Proses transportasi lime stone hasil crushing ke plant menggunakan belt conveyor jenis Carrying Idler.


Dalam proses pertambangan ini, mulai dari membuat core drilling sampai pengangkutan, alat berat merupakan komponen paling penting dalam proses penambangan. Alat utama yang digunakan di ITP adalah loader dan dump truk, sedangkan bulldozer dan excavator merupakan alat bantu yang memudahkan kerja kedua alat berat utama. Loader digunakan pada proses loading, sedangkan dump truk digunakan untuk proses hauling. Dump truk ini memiliki kapasitas sebesar 60 ton. Sekitar 40-50% biaya di mining itu dialokasikan untuk alat berat, baik itu dari maintenance maupun bahan bakar solar yang bisa menghabiskan 435000 liter dalam setahun dan Rp. 12 M per tahun untuk pelumas.
Alat berat membawa hasil blasting ke crusher untuk mereduce ukuran bongkahan batu kapur sehingga menjadi sebesar 60 mm. Proses selanjutnya adalah conveying  yang membawa material hasil crushing menuju storage intermediate (sementara) maupun storaging/filling ke masing-masing plan. Material batu kapur tidak bisa semena-mena masuk kedalam crusher mana saja, karena setiap crusher ini tersambung ke beberapa lokasi storage.
Pengontrolan kerja crusher ini dilakukan dalam ruang panel yang menggantikan system dumping man yang mencatat semua kegiatan kedatangan material. Sebagai contoh yaitu ruang panel yang ada di P7 yang dilengkapi oleh monitor untuk mengawasi semua keadaan yang terjadi dengan bantuan sensor-sensor yang dipasang dibeberapa titik sehingga mudah dilakukan control. Pada P7 ini, mekanisme yang bekerja di crusher adalah impact. Bila kecepatan impact melebihi batas normal akan menyebabkan temperature motor naik dan dapat menyebabkan efek trip pada mesin yang otomatis akan mengurangi efisiensi kerja crusher.
Aktivitas pertambangan ini sangat memiliki risiko yang tinggi baik terhadap lingkungan maupun K3 karyawan. Oleh karena itu, banyak sekali regulasi dan peraturan yang ditetapkan dalam kegiatan ini. Manajemen risiko juga bisa sangat membantu sebagai pengendali risiko yang ada. Aplikasi manajemen risiko ini bisa dilihat dari kelengkapan APD (alat pelinding diri) yang digunakan oleh pekerja tambang. Namun, penerapan APD masih susah direalisasikan karena banyaknya pekerja yang melanggar. Dan pengendalian risiko pada saat pengisian bahan peledak, salah satunya dipasangi bendera berwarna. Sedangkan bendera hijau menandakan sedang terjadinya proses peledakan, dan warna kuning mengindikasikan terjadinya masalah. Selain itu, PT ITP juga banyak menerapkan berbagai standar seperti OSHAS 18000 merupakan spesifikasi dari sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja internasional untuk membantu organisasi mengendalikan resiko terhadap kesehatan dan keselamatan personilnya, ISO 14000 adalah standar internasional tentang sistem manejemen lingkungan, dan ISO 9000 yaitu suatu standar internasional untuk sistem manajemen mutu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar