Laporan kunjungan di Mining quarry
D pertambangan limestone di PT Indocement .Tbk pada hari kamis 13 februari
2014. Pertama berkumpul di pos 1, dengan menggunakan bus kunjungan dimulai
dengan tempat tujuan pertama adalah ke gudang ANFO. Disana kegiatan yang saya
lihat sedang dilakukan pencampuran Amonium Nitrat dengan Fuel Oil dengan
perbandingan 95,5 : 4,5.
Bayu Bastiansyah
Mining Raw Material Preparation
Laporan Kunjungan Mining “Quarry
D”
Kamis, 13 Maret 2014
Kegiatan
pertambangan PT. ITP ini terletak di daerah Citeureup-Bogor dengan sebutan
Quarry D. PT ITP ini memiliki cadangan batu kapur yang sangat banyak, yang diperkirakan
masih cukup untuk memenuhi kebutuhan semen dalam 75 tahun mendatang. ITP pula masih
mempunyai beberapa lokasi tambang, seperti
Quarry A yang sudah habis dan direklamasi menjadi tempat perindustrian, Quarry
D yang sampai saat menjadi tambang yang aktif ditambang,
Quarry C memiliki kandungan mineral yang baik untuk semen putih dan akan segera dibuka dalam waktu dekat serta Quarry E.
Menurut
UU No.11 Tahun 1967, pertambangan batu kapur yang dilakukan oleh PT. Indocement
Tunggal Prakarsa merupakan bahan tambang yang tergolong dalam golongan C (bahan
tidak strategis dan tidak vital), yaitu bahan yang tidak dianggap langsung
mempengaruhi hayat hidup orang banyak.
Kegiatan pertambangan
limestone di quarry D
mempunyai beberapa tahap
proses mulai dari Land clearing à Stripping à Drilling à Blasting à Loading dan Hauling à Crushing à Conveying à Storage.
1.
Tahap
Pembabatan (Land Clearing)
Pembabatan
dan pengupasan yang
dilakukan untuk membuka
daerah penambangan baru. Langkah
ini perlu dilakukan
untuk membersihkan pepohonan
dari daerah bahan galian dengan menggunakan buldoser.
2.
Tahap
Pengupasan Tanah (Stripping)
Proses pengupasan top soil (lapisan penutup tanah),
langkah ini dilakukan pada daerah bahan galian yang ditutupi lapisan tanah
penutup. Lapisan penutup ini tidak
dibuang akan tetapi lapisan tanah ini
nantinya akan dikembalikan/disebar kembali untuk kesuburan
tanah(revegetasi).
3.
Tahap
Pengeboran (Drilling)
Sebelum
batu kapur diambil
harus dilakukan pengeboran
untuk menanamkan bahan peledak. Jarak
dan kedalaman antar
lubang untuk menanamkan
bahan peledak harus disesuaikan. Umumnya diameter
lubang 3,5 inchi dengan kedalaman
6 hingga 9
meter. Jarak antar lubang biasanya
3-4 meter.
Pada proses drilling ini dikenal beberapa istilah, yaitu
;
·
Bench : merupakan lahan kapur yang akan di blasting.
·
Spacing : merupakan jarak antara satu lubang
drilling (yang diisi peledak) dengan lubang drilling lainnya.
·
Burden :
merupakan jarak lubang drilling dengan bidang bebas.
·
Steaming :
merupakan lubang ledak bagian atas yang tidak diisi bahan peledak tetapi
biasanya diisi abu hasil pemboran dan dipadatkan di atas bahan peledak.
·
Subdrilling : merupakan kedalaman lubang drilling
yang sengaja dilebihkan dengan ukuran 1 meter dari setiap tinggi bench (lantai
bench), agar bagian bawah lahan kapur pecah saat blasting dan memudahkan loader
saat memuat material.
(contoh : jika kedalaman bench 15 meter, maka dilebihkan
1 meter menjadi 16 meter)
4.
Tahap
Peledakan (Blasting)
Aktivitas pertambangan ini dilakukan dengan cara
diledakan karena mengingat kekerasan yang dimiliki oleh batu kapur yang cukup
tinggi. Blasting merupakan proses pemisahan batuan dari batu
induknya dengan menggunakan bahan peledak.
Pada proses blasting ini ada yang disebut juru ledak, yaitu orang yang
bertanggung jawab pada seluruh proses blasting. Mengingat proses peledakan itu
merupakan proses yang sangat berbahaya maka juru ledak memiliki lisensi yang
didapat dari Kepolisian dan Dinas Pertambangan yang dipercaya untuk mengawasi
dan memimpin jalannya proses blasting. Lisensi tersebut disebut dengan KIM (Kartu Izin Meledakkan).
Adapun
bahan peledak
yang digunakan:
- Damotin (Dinamit Ammonium Gelatine) merupakan bahan peledak primer.
- ANFO (Ammonium Nitrat dan Fuel Oil) adalah bahan peledak sekunder dengan perbandingan 94,5 % amonium nitrat dan 5,5 % fuel oil.
Komponen yang digunakan untuk blasting adalah kabel,
detonator, blasting machine (alat peledak)
dan blasting ohmmeter (alat
pengukur daya ledak).
Warna dari ammonium
nitrat adalah putih dan
warna dari fuel oil (solar) adalah bening. Bila perbandingan ANFO terpenuhi dan proses mixing sempurna,
akan dihasilkan
ledakan berwarna putih. Sedangkan
bila gas berwarna kuning atau hitam, menandakan campuran ANFO tidak sesuai dan
gas buang ini mengandung zat yang berbahaya serta keefektifan ledakan pun berkurang dan dapat
menyebabkan turunnya tonase hasil ledakan
serta kerugian. Adapun cara mixing Ammonium Nitrat dengan solar adalah dengan
menggunakan ANFO mixer yang memiliki kapasitas 6 ton/jam.
Kapasitas masing-masing gudang bahan peledak yaitu ;
·
Gudang
dinamit :
kapasitas kurang
lebih 30 ton
·
Gudang ammonium
nitrat :
kapasitas sekitar
240 ton
·
Gudang detonator :
kapasitas sekitar 16000 pc
·
Gudang kabel
Dalam aktivitasnya, PT. ITP dapat menghabiskan 100000 meter
kabel, 180 ton ANFO, 5000 pc
detonator, dan 2000-2100 kg dinamit (0,2 kg/pc) setiap bulannya.
Dalam satu lubang dengan diameter 4”, dibutuhkan
sekitar 6 kg ANFO setiap satu meter drilling, dan untuk diameter 5,5”
dibutuhkan sekitar 14 kg ANFO. Sedangkan dari seluruh kebutuhan bahan peledak,
penggunaan dinamit hanya sekitar 1-2% karena dinamit memiliki daya ledak
(tekanan) yang tinggi yaitu sekitar 200MPa
dan harganya relative mahal. Kegiatan blasting ini dimulai dengan
memancing peledakan dinamit oleh detonator yang mempunyai arus yang kemudian
meledakkan ANFO. Dalam mengoptimalkan keefektifan bahan peledak ini, dibutuhkan
suatu parameter yaitu blasting rasio (BR) yang merupakan perbandingan bahan
peledak yang dibutuhkan (kg) untuk meledakkan 1 ton batuan. Biasanya blasting
rasio ini berkisar antara 0,165 – 0,2 kg/ton, namun semua ini tergantung dari
kekerasan material yang akan diledakkan. Semakin keras material yang akan
diledakkan maka harus semakin tinggi blasting rasio yang diterapkan agar hasil
tonase peledakan bisa sesuai target. Makin tinggi blasting rasio juga akan
memberikan keuntungan seperti framentasi kecil sehingga meringankan beban pada proses loding dan hauling serta crusher.
Namun BR yang tinggi pula akan menyebabkan flying rock akan terlempar sangat
jauh karena menerima tekanan yang begitu besar.
5.
Tahap
Pemuatan (Loading) dan Pengangkutan (Hauling)
Untuk tahap loading dan hauling ini material hasil
blasting dibawa ke crusher dengan menggunakan loader dan dump truck. Pada umumnya dump truck ini memuat 30 ton. Namun karena kapasitas pabrik
meningkat, kapasitas dump truck di modifikasi sampai kapasitanya 60 ton.
6.
Tahap Crushing
Crushing merupakan proses pereduksian ukuran batuan hasil
blasting agar lebih mudah di tranport ke storage. Model yang banyak digunakan
di PT. ITP yaitu jaw crusher, hammer crusher dan impact crusher.
·
Tipe crusher menurut fungsinya dibagi menjadi 2, yaitu:
-
Stationary (permanen)
-
Mobile (dapat dipindah-pindah)
·
Serta ada 2 jenis crusher:
-
Automatic (kelebihan crusher automatic ialah bila terdapat blocking pada
crusher dengan sendirinya kecepatan motor crusher akan berkurang).
-
Manual
7.
Tahap Conveying
Proses transportasi lime stone hasil crushing ke plant
menggunakan belt conveyor jenis Carrying Idler.
Dalam
proses pertambangan ini, mulai dari membuat core drilling sampai pengangkutan,
alat berat merupakan komponen paling penting dalam proses penambangan. Alat
utama yang digunakan di ITP adalah loader dan dump truk, sedangkan bulldozer
dan excavator merupakan alat bantu yang memudahkan kerja kedua alat berat
utama. Loader digunakan pada proses loading, sedangkan dump truk digunakan
untuk proses hauling. Dump truk ini memiliki kapasitas sebesar 60 ton. Sekitar
40-50% biaya di mining itu dialokasikan untuk alat berat, baik itu dari
maintenance maupun bahan bakar solar yang bisa menghabiskan 435000 liter dalam
setahun dan Rp. 12 M per tahun untuk pelumas.
Alat
berat membawa hasil blasting ke crusher untuk mereduce ukuran bongkahan batu
kapur sehingga menjadi sebesar 60 mm. Proses selanjutnya adalah conveying yang membawa material hasil crushing menuju
storage intermediate (sementara) maupun storaging/filling ke masing-masing
plan. Material batu kapur tidak bisa semena-mena masuk kedalam crusher mana
saja, karena setiap crusher ini tersambung ke beberapa lokasi storage.
Pengontrolan
kerja crusher ini dilakukan dalam ruang panel yang menggantikan system dumping
man yang mencatat semua kegiatan kedatangan material. Sebagai contoh yaitu
ruang panel yang ada di P7 yang dilengkapi oleh monitor untuk mengawasi semua
keadaan yang terjadi dengan bantuan sensor-sensor yang dipasang dibeberapa
titik sehingga mudah dilakukan control. Pada P7 ini, mekanisme yang bekerja di
crusher adalah impact. Bila kecepatan impact melebihi batas normal akan
menyebabkan temperature motor naik dan dapat menyebabkan efek trip pada mesin
yang otomatis akan mengurangi efisiensi kerja crusher.
Aktivitas
pertambangan ini sangat memiliki risiko yang tinggi baik terhadap lingkungan
maupun K3 karyawan. Oleh karena itu, banyak sekali regulasi dan peraturan yang
ditetapkan dalam kegiatan ini. Manajemen risiko juga bisa sangat membantu
sebagai pengendali risiko yang ada. Aplikasi manajemen risiko ini bisa dilihat
dari kelengkapan APD (alat pelinding diri) yang digunakan oleh pekerja tambang.
Namun, penerapan APD masih susah direalisasikan karena banyaknya pekerja yang
melanggar. Dan pengendalian risiko pada saat pengisian bahan peledak, salah
satunya dipasangi bendera berwarna. Sedangkan bendera hijau menandakan sedang
terjadinya proses peledakan, dan warna kuning mengindikasikan terjadinya
masalah. Selain itu, PT ITP juga banyak menerapkan berbagai standar seperti
OSHAS 18000 merupakan spesifikasi dari sistem
manajemen kesehatan dan keselamatan kerja internasional untuk membantu
organisasi mengendalikan resiko terhadap kesehatan dan keselamatan personilnya,
ISO 14000 adalah standar internasional tentang sistem manejemen
lingkungan, dan ISO 9000 yaitu suatu standar
internasional untuk sistem manajemen mutu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar